Santabe Ncore Mena..Selamat Datang.
Welcome To My Private Home..Lembo Ade

Senin, 07 Juli 2014

MISKIN TAPI GIZI BAIK (Bagaimana Caranya?)





LOGIKA umumnya ,anak-anak yang mengalami gizi buruk adalah anak- anak yang berasal dari keluarga miskin. Secara empirik , hal itu tidak terbantahkan . Riset di  5 Kabupaten/ Kota di NTT menunjukan, mayoritas anak yang gizi buruk memang berasal dari keluarga miskin. Tetapi studi ini juga menemukan tidak sedikit keluarga miskin yang anaknya gizi baik.
           
            Mayoritas anak –anak yang yang kini menderita  gizi buruk itu, bila di runut dari sejarah kelahirannya adalah anak- anak yang sehat. Saat di tanya bagaimana asal mulanya anak- anak itu  kemudian menjadi sangat kurus, lebih dari separuh (66,9%) orang tua menjawab, gizi buruk  awalnya berasal dari sakit dan kemudian kurang nafsu makan ;16,9% rumah tangga secara tegas menyatakan, gizi buruk terjadi  karena anak sering kurang makan ; dan 1,8% orang tua mengaku , gizi buruk yang menimpa anaknya   terjadi karena anaknya kurang terurus, sering ditinggal sama orang tua. Selebihnya, para orang tua itu tidak lagi merunut asal mula anaknya menjadi sangat kurus.(Institut For Ecosoc.Rights, 2006).
           
Mayoritas orang tua pada umumnya  tidak tahu kalau anaknya menderita gizi buruk. Mereka baru tahu kalau anaknya menderita gizi buruk setelah anaknya menderita sakit dan dibawa ke Puskesmas atau bidan desa. Memahami fenomena sakit dan gizi buruk di NTT, tidak seperti memahami fenomena mana yang lebih dahulu,ayam atau telur. Untuk konteks NTT, tampaknya bukanlah sakit yang lebih dahulu menjelaskan adanya masalah gizi, melainkan masalah asupanlah yang lebih dahulu menjelaskan adanya masalah gizi. Anak- anak yang lebih dahulu kurang asupan makanan akan lebih rentan terhadap penyakit. Apabila penyakit yang lebih dahulu menjelaskan masalah gizi buruk, maka akan kita temukan jauh lebih banyak  anak- anak di NTT yang gizi buruk dari pada anak- anak yang gizi baik. Sebab anak- anak di NTT dalam kesehariannya praktis hidup berdampingan dengan berbagai macam penyakit,seperti malaria, ISPA, diare, dan penyakit lain, yang bisa berdampak pada kurangnya asupan makanan. Yang terjadi pada kenyataannya masih lebih banyak anak –anak yang tidak mengalami masalah gizi daripada anak- anak yang mengalami masalah gizi. Ini menjelaskan, betapapun berbagai penyakit menjadi ancaman,, namun kualitas makanan yang diterima anak mempengaruhi daya tahan anak terhadap penyakit. Ini terbukti dari hasil riset yang dilakukan oleh Institut For Ecosoc.Rights Tahun 2006 di tingkat rumah tangga.
           
Data tentang kualitas makanan di tingkat rumah tangga  menunjukan perbedaan mencolok antara keluarga  yang memiliki anak gizi buruk dengan keluarga yang memiliki anak gizi baik dengan kondisi ekonomi yang sama-sama menengah ke bawah dalam hal kualitas makanan yang di berikan  pada anak. Anak-anak gizi buruk cenderung mendapat makanan bubur/ nasi/jagung kosong tanpa sayur. Sementara anak-anak yang gizi baik mendapat makanan bubur/ nasi/jagung dengan sayur atau kadang –kadang sayur dengan lauk. Kalaupun tidak mendapat lauk, anak-anak dengan gizi baik ini selalu mendapat sayur. Dengan mendahulukan masalah kualitas makan untuk menjelaskan masalah sakit, tidak berarti bahwa masalah sakit ini tidak berpengaruh pada persoalan gizi buruk. Sakit adalah juga salah satu dari penyebab munculnya masalah gizi, terutama penyakit seperti  infeksi, ISPA, cacing, diare,malaria,dll.
Lalu bagaimana dengan kondisi kita ? Berdasarkan analisa dari jumlah kasus gizi buruk yang terjadi di salah satu kabupaten di NTB Tahun 2012 menunjukan bahwa gizi buruk pada balita  sebanyak 73,63 % disebabkan karena faktor penyakit diantaranya:  ISPA (15,38%), Diare (34.07%), Pnemonia ( 2,20%), TBC (1,10 % ), Infeksi lain ( 4,40%), ISPA dan Diare (7,69%) dan Lainnya (2,20%). Sisanya sebanyak 26,37 % kasus gizi buruk pada balita disebabkan oleh kurangnya asupan yang sesuai kebutuhan balita. Hasil konfirmasi dan investigasi tidak sedikit kasus gizi buruk pada balita berasal dari keluarga dengan tingkat perekonomian menengah ke atas, artinya bahwa anak-anak meskipun berasal dari keluarga yang memiliki penghasilan menengah ke bawah tetapi jika pola asuhnya diperhatikan baik dari segi asupan makanan, kasih sayang, dan stimulasi maka bisa dipastikan anak-anak tetap dalam kondisi dengan status gizi baik.
Selain faktor penyakit, bila dirunut dari riwayat pengasuhannya, maka kejadian gizi buruk pada balita disebabkan karena  tidak diberi Asi Eksklusif 6 bulan, pemberian makanan pendamping Asi terlalu dini dan makanan pendamping Asi yang tidak mencukupi kebutuhan anak. Rendahnya pengetahuan, tidak adanya kesadaran akan masalah gizi dan kesehatan, kesibukan orangtua dalam mencari nafkah sehingga anak-anak diasuh oleh orang lain, banyaknya anak dan dekatnya jarak kelahiran tampaknya telah menghambat para keluarga baik miskin ataupun kaya untuk menghindarkan anak-anak mereka dari masalah gizi.


Upaya minimal
Kemiskinan memang membuat keluarga miskin tidak memiliki banyak pilihan. Namun demikian, pilihan mereka untuk mengutamakan anak dalam hal penyediaan makanan keluarga sekaligus memberi cukup perhatian pada mereka ternyata berhasil menghindarkan anak-anak mereka dari sakit ataupun gizi buruk.
Untuk melihat lebih jauh gambaran tentang  bagaimana rumah tangga miskin mengupayakan agar anak-anaknya tidak terkena gizi buruk di NTT, bisa dilihat dari pergulatan hidup mereka sehari-hari dalam merawat dan mengasuh anak. Beberapa upaya yang dilakukan untuk dapat menghindarkan  anak-anak mereka dari masalah gizi .
1.     Memberi makanan anak secara teratur
2.     Selalu memberikan sayur dan lauk
3.     Menjaga kebersihan dalam keluarga dan lingkungan.
4.     Menjaga kebersihan dan kesehatan anak.
5.     Membatasi jumlah anak dan mengatur jarak kelahiran,dll.

Dari seluruh upaya tersebut, upaya minimal yang paling banyak dilakukan para keluarga miskin yang anaknya sehat adalah selalu memberi sayur dan memberi makanan anak secara teratur. Kuncinya tampaknya sederhana, tetapi justru itulah yang sering diabaikan. Pertanyaannya , mengapa keluarga -kelurga dengan anak gizi buruk itu tidak melakukan upaya minimal sebagaimana dilakukan rumah tangga miskin yang anaknya gizi baik? Anak-anak dari keluarga dengan tingkat ekonomi yang lebih baikpun akan mengalami gizi buruk jika hal-hal yang minimal dan kecil tidak diperhatikan oleh ibunya.

Hasil penelitian ini menjadi salah satu gambaran yang nyata tentang kondisi di NTT, bagaimana dengan di NTB sendiri? Seharusnya kita bisa belajar dari Provinsi NTT yang notabene sangat minim sumber daya alam tetapi mampu memberi pelajaran berharga buat  keluarga dari daerah lain jika dibandingkan dengan NTB yang memiliki sumber daya alam yang melimpah jika boleh dibilang demikian. Bahwa memang kondisi ekonomi yang sangat minim dapat secara signifikan mengakibatkan anak balita bisa menderita gizi buruk, tetapi dengan belajar dari kondisi yang terjadi di NTT kita bisa melihat bahwa kemiskinan tidak menjadi alasan yang dapat kita pakai untuk menjelaskan kenapa anak-anak kita di NTB dapat menderita gizi buruk. Dengan pengetahuan, sikap, dan perilaku yang baik dalam mengasuh anak terutama dalam pemberian makanan dan menjaga kesehatan anak dengan menjaga keluarga tetap berpola hidup bersih dan sehat sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa keluarga miskin di NTT, kita di NTB bisa menghindarkan anak-anak kita dari gizi buruk.

Upaya lainya adalah meningkatkan kepedulian komunitas melalui pemberdayaan masyarakat untuk membantu  keluarga yang tidak mampu,misalya dengan program jimpitan barang/uang, Zakat, Infak dan Sodaqoh atau gerakan Rp 500 / hari untuk gizi buruk, dimana setiap orang/keluarga menyisihkan Rp 500 / hari untuk membantu keluarga yang anak- anaknya masih menderita gizi buruk.  Rp 500 adalah jumlah yang ‘”sedikit” tapi pengeluaran yang sedikit itu mampu menyelamatkan masa depan seorang anak.  Langkah ini sudah mulai di lakukan oleh beberapa teman peduli kesehatan dan gizi di Kabupaten Bima.Semoga hal serupa dapat berefek domino di beberapa daerah tetangga yang notabene kasus gizi buruknya kemungkinan masih tinggi di Propinsi NTB.Semoga
                            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar