(Bagaimana Caranya?)
LOGIKA umumnya ,anak-anak yang mengalami gizi buruk adalah anak- anak
yang berasal dari keluarga miskin. Secara emperik , hal itu tidak terbantahkan
. Riset di 5 Kabupaten/ Kota di NTT menunjukan,
mayoritas anak yang gizi buruk memang berasal dari keluarga miskin. Tetapi
studi ini juga menemukan tidak sedikit keluarga miskin yang anaknya gizi baik .
Mayoritas anak –anak yang yang kini
menderita gizi buruk itu, bila di runut
dari sejarah kelahirannya adalah anak- anak yang sehat. Saat di tannya
bagaimana asal mulanya anak- anak itu
kemudian menjadi sangat kurus, lebih dari separuh (66,9%) orang tua
menjawab, gizi buruk awalnya berasal
dari sakit dan kemudian kurang nafsu makan ;16,9% rumah tangga secara tegas
menyatakan, gizi buruk terjadi karena
anak sering kurang makan ; dan 1,8% orang tua mengaku , gizi buruk yang menimpa
anaknya terjadi karena anaknya kurang terurus,
sering ditinggal sama orang tua. Selebihnya, para orang tua itu tidak lagi
merunut asal mula anaknya menjadi sangat kurus.(Institut For Ecosoc.Rights, 2006).
Mayoritas orang tua pada
umumnya tidak tahu kalau anaknya
menderita gizi buruk. Mereka baru tahu kalau anaknya menderita gizi
buruk.Mereka baru tahu ketika anak itu sakit dan dibawa ke Puskesmas atau bidan
desa. Memahami fenomena sakit dan gizi buruk di NTT, tidak seperti memahami
fenomena mana yang lebih dahulu, ayam atau telor.
Untuk konteks NTT, tampaknya bukanlah sakit yang lebih dahulu menjelaskan
adanya masalah gizi, melainkan masalah gizilah yang lebih dahulu menjelaskan
masalah sakit. Anak- anak yang lebih dahulu kurang gizi dan karenanya rentan
terhadap penyakit. Apabila penyakit yang lebih dahulu menjelaskan masalah gizi
buruk, maka akan kita temukan jauh lebih banyak
anak- anak di NTT yang gizi buruk dari pada anak- anak yang gizi baik.
Sebab anak- anak di NTT dalam kesehariannya praktis hidup berdampingan dengan
berbagai macam penyakit,seperti malaria, ISPA, diare, dan penyakit lain, yang
bisa berdampak pada kurangnya asupan makanan. Yang terjadi pada kenyataannya
masih lebih banyak anak –anak yang tidak mengalami masalah gizi daripada anak-
anak yang mengalami masalah gizi. Ini menjelaskan, betapapun berbagai penyakit
menjadi ancaman,, namun kualitas makanan yang diterima anak mempengaruhi daya
tahan anak terhadap penyakit. Ini terbukti dari hasil riset di tingkat rumah
tangga.
Data tentang kualitas makanan di
tingkat rumah tangga menunjukan
perbedaan mencolok antara keluarga
dedngan anak gizi buruk dan keluarga dengan anak gizi baik dalam hal
kualitas makanan yang di berikan pada
anak. Anak-anak gizi buruk cenderung mendapat makanan bubur/ nasi/jagung kosong
tanpa sayur. Sementara anak-anak yang gizi baik mendapat makanan bubur/
nasi/jagung dengan sayur atau kadang –kadang sayur dengan lauk. Kalaupun tidak
mendapat lauk, anak-anak dengan gizi baik ini selalu mendapat sayur.
Dengan mendahulukan masalah kualitas
makan untuk menjelaskan masalah sakit, tidak berarti bahwa masalah sakit ini
tidak berpengaruh pada persoalan gizi buruk. Sakit adalah juga salah satu dari
penyebab munculnya masalah gizi, terutama penyakit seperti ISPA, cacing, diare,malaria,dll.
Selain faktor penyakit, bila dirunut dari riwayat pengasuhannya, maka
gizi buruk pada balita disebabkan karena
tidak diberi Asi Eksklusif 6 bulan, pemberian makanan pendamping Asi
terlalu dini dan makanan pendamping Asi yang tidak mencukupi kebutuhan anak.
Upaya minimal
Kemiskinan memang membuat keluarga miskin tidak memiliki banyak pilihan.
Namun demikian, pilihan mereka untuk mengutamakan anak dalam hal penyediaan
makanan keluarga sekaligus memberi cukup perhatian pada mereka ternyata
berhasil menghindarkan anak-anak mereka dari sakit ataupun gizi buruk.
Untuk melihat lebih jauh gambaran tentang bagaimana rumah tangga miskin mengupayakan
agar anak-anaknya tidak terkena gizi buruk, bisa dilihat dari pergulatan hidup
mereka sehari-hari dalam merawat dan mengasuh anak. Beberapa upaya yang
dilakukan untuk dapat menghindarkan
anak-anak mereka dari masalah gizi .
1.
Memberi makanan
anak secara teratur
2.
Selalu
memberikan sayur disamping lauk pauk sumber protein.
3.
Menjaga
kebersihan dalam keluarga dan lingkungan.
4.
Menjaga
kebersihan dan kesehatan anak.
5.
Membatasi jumlah
anak dan mengatur jarak kelahiran,dll.
Dari seluruh
upaya tersebut, upaya minimal yang paling banyak dilakukan para keluarga miskin
yang anakya sehat adalah selalu memberi sayur dan memberi makanan anak secara
teratur. Kuncinya tampaknya sederhana, tetapi justru itulah yang sering di
abaikan. Pertanyaannya , mengapa keluarga -kelurga dengan anak gizi buruk itu
tidak melakukan upaya minimal sebagaimana dilakukan rumah tangga miskin yang
anaknya gizi baik? Rendahnya pengetahuan dan kesadaran akan masalah gizi dan kesehatan
serta banyaknya anak dan dekatnya jarak kelahiran tampaknya telah menghambat
para keluarga miskin untuk menghindarkan anak-anak mereka dari masalah gizi.
Rendahnya pengetahuan dan kesadaran akan gizi dan kesehatan adalah konsekwensi dari rendahnya pendidikan para ibu yang
anak-anaknya gizi buruk. Sementara masalah jumlah anak dan dekatnya jarak
kelahiran terkait dengan persoalan adat yang mendudukkan perempuan dalam posisi
lemah dalam hal pengambilan keputusan.
Upaya lainya adalah meningkatkan kepedulian
komunitas untuk membantu keluarga yang tidak mampu,misalya dengan program
jimpitan barang/uang, Zakat, Infak dan Sodaqoh atau gerakan Rp 500 / hari untuk
gizi buruk, dimana setiap orang menyisihkan Rp 500 / hari untuk membantu
keluarga miskin yang anak- anaknya masih
menderita gizi buruk. Rp 500 adalah jumlah
yang ‘”sedikit” tapi pengeluaran yang sedikit itu mampu menyelamatkan masa
depan seorang anak.
*Tulisan disarikan dari Institut For Ecosoc.Rights, 2006 dan
Sumber lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar