Santabe Ncore Mena..Selamat Datang.
Welcome To My Private Home..Lembo Ade

Selasa, 13 November 2012

MISKIN TAPI GIZI BAIK


MISKIN TAPI GIZI BAIK
(Bagaimana Caranya?)



LOGIKA umumnya ,anak-anak yang mengalami gizi buruk adalah anak- anak yang berasal dari keluarga miskin. Secara emperik , hal itu tidak terbantahkan . Riset di  5 Kabupaten/ Kota di NTT menunjukan, mayoritas anak yang gizi buruk memang berasal dari keluarga miskin. Tetapi studi ini juga menemukan tidak sedikit keluarga miskin yang anaknya gizi baik .         
            Mayoritas anak –anak yang yang kini menderita  gizi buruk itu, bila di runut dari sejarah kelahirannya adalah anak- anak yang sehat. Saat di tannya bagaimana asal mulanya anak- anak itu  kemudian menjadi sangat kurus, lebih dari separuh (66,9%) orang tua menjawab, gizi buruk  awalnya berasal dari sakit dan kemudian kurang nafsu makan ;16,9% rumah tangga secara tegas menyatakan, gizi buruk terjadi  karena anak sering kurang makan ; dan 1,8% orang tua mengaku , gizi buruk yang menimpa anaknya   terjadi karena anaknya kurang terurus, sering ditinggal sama orang tua. Selebihnya, para orang tua itu tidak lagi merunut asal mula anaknya menjadi sangat kurus.(Institut For Ecosoc.Rights, 2006).
            Mayoritas orang tua pada umumnya  tidak tahu kalau anaknya menderita gizi buruk. Mereka baru tahu kalau anaknya menderita gizi buruk.Mereka baru tahu ketika anak itu sakit dan dibawa ke Puskesmas atau bidan desa. Memahami fenomena sakit dan gizi buruk di NTT, tidak seperti memahami fenomena mana yang lebih dahulu, ayam atau telor.
Untuk konteks NTT, tampaknya bukanlah sakit yang lebih dahulu menjelaskan adanya masalah gizi, melainkan masalah gizilah yang lebih dahulu menjelaskan masalah sakit. Anak- anak yang lebih dahulu kurang gizi dan karenanya rentan terhadap penyakit. Apabila penyakit yang lebih dahulu menjelaskan masalah gizi buruk, maka akan kita temukan jauh lebih banyak  anak- anak di NTT yang gizi buruk dari pada anak- anak yang gizi baik. Sebab anak- anak di NTT dalam kesehariannya praktis hidup berdampingan dengan berbagai macam penyakit,seperti malaria, ISPA, diare, dan penyakit lain, yang bisa berdampak pada kurangnya asupan makanan. Yang terjadi pada kenyataannya masih lebih banyak anak –anak yang tidak mengalami masalah gizi daripada anak- anak yang mengalami masalah gizi. Ini menjelaskan, betapapun berbagai penyakit menjadi ancaman,, namun kualitas makanan yang diterima anak mempengaruhi daya tahan anak terhadap penyakit. Ini terbukti dari hasil riset di tingkat rumah tangga.
            Data tentang kualitas makanan di tingkat rumah tangga  menunjukan perbedaan mencolok antara keluarga  dedngan anak gizi buruk dan keluarga dengan anak gizi baik dalam hal kualitas makanan yang di berikan  pada anak. Anak-anak gizi buruk cenderung mendapat makanan bubur/ nasi/jagung kosong tanpa sayur. Sementara anak-anak yang gizi baik mendapat makanan bubur/ nasi/jagung dengan sayur atau kadang –kadang sayur dengan lauk. Kalaupun tidak mendapat lauk, anak-anak dengan gizi baik ini selalu mendapat sayur.
            Dengan mendahulukan masalah kualitas makan untuk menjelaskan masalah sakit, tidak berarti bahwa masalah sakit ini tidak berpengaruh pada persoalan gizi buruk. Sakit adalah juga salah satu dari penyebab munculnya masalah gizi, terutama penyakit seperti  ISPA, cacing, diare,malaria,dll.
Selain faktor penyakit, bila dirunut dari riwayat pengasuhannya, maka gizi buruk pada balita disebabkan karena  tidak diberi Asi Eksklusif 6 bulan, pemberian makanan pendamping Asi terlalu dini dan makanan pendamping Asi yang tidak mencukupi kebutuhan anak.
Upaya minimal
Kemiskinan memang membuat keluarga miskin tidak memiliki banyak pilihan. Namun demikian, pilihan mereka untuk mengutamakan anak dalam hal penyediaan makanan keluarga sekaligus memberi cukup perhatian pada mereka ternyata berhasil menghindarkan anak-anak mereka dari sakit ataupun gizi buruk.
Untuk melihat lebih jauh gambaran tentang  bagaimana rumah tangga miskin mengupayakan agar anak-anaknya tidak terkena gizi buruk, bisa dilihat dari pergulatan hidup mereka sehari-hari dalam merawat dan mengasuh anak. Beberapa upaya yang dilakukan untuk dapat menghindarkan  anak-anak mereka dari masalah gizi .
1.       Memberi makanan anak secara teratur
2.       Selalu memberikan sayur disamping lauk pauk sumber protein.
3.       Menjaga kebersihan dalam keluarga dan lingkungan.
4.       Menjaga kebersihan dan kesehatan anak.
5.       Membatasi jumlah anak dan mengatur jarak kelahiran,dll.
Dari seluruh upaya tersebut, upaya minimal yang paling banyak dilakukan para keluarga miskin yang anakya sehat adalah selalu memberi sayur dan memberi makanan anak secara teratur. Kuncinya tampaknya sederhana, tetapi justru itulah yang sering di abaikan. Pertanyaannya , mengapa keluarga -kelurga dengan anak gizi buruk itu tidak melakukan upaya minimal sebagaimana dilakukan rumah tangga miskin yang anaknya gizi baik? Rendahnya pengetahuan dan kesadaran akan masalah gizi dan kesehatan serta banyaknya anak dan dekatnya jarak kelahiran tampaknya telah menghambat para keluarga miskin untuk menghindarkan anak-anak mereka dari masalah gizi. Rendahnya pengetahuan dan kesadaran akan gizi dan kesehatan adalah konsekwensi  dari rendahnya pendidikan para ibu yang anak-anaknya gizi buruk. Sementara masalah jumlah anak dan dekatnya jarak kelahiran terkait dengan persoalan adat yang mendudukkan perempuan dalam posisi lemah dalam hal pengambilan keputusan.
Upaya lainya adalah meningkatkan kepedulian komunitas  untuk membantu  keluarga yang tidak mampu,misalya dengan program jimpitan barang/uang, Zakat, Infak dan Sodaqoh atau gerakan Rp 500 / hari untuk gizi buruk, dimana setiap orang menyisihkan Rp 500 / hari untuk membantu keluarga miskin  yang anak- anaknya masih menderita gizi buruk.  Rp 500 adalah jumlah yang ‘”sedikit” tapi pengeluaran yang sedikit itu mampu menyelamatkan masa depan seorang anak.


*Tulisan disarikan dari Institut For Ecosoc.Rights, 2006 dan Sumber lainnya



Tidak ada komentar:

Posting Komentar